Kamis, 15 Desember 2011

Cerpen Remaja


BRONDONG AMATIRAN
Senyum itu seakan lenyap dari persahabatan kami. Jauh sebelumnya, senyum selalu hadir di dalam hari-hari. Haha... haha... brondong amatiran telah membawanya pergi. Kok bisa ya? Persahabatan yang telah lama terjalin, harus ternoda oleh brondong?
Sejak cowok satu ini meradang dalam persahabatan kami, banyak kata-kata rahasia dan isyaratpun dimainkan. Sejak ini pula warna dari persahabatan kami mulai pudar. Di setiap berkumpul, mereka curhat hanya berdua-duaan saja. Tak seperti dulu, satu untuk semua.
Boring... boring... kata-kata ini seolah tertancap di hati. Walau ku tak pernah mengungkapkan. Tapi, menurutku sikap saja cukup untuk mereka mengerti dan mengetahui kejenuhan seorang sahabat. Kenyataannya, bagi mereka sikap saja tak cukup agar mereka mengerti.
“Hey Guys... ada adik kelas yang terus-terusan nitip salam padaku. Sampai-sampai dia nanyain no Hpku.”
“Beneran? Jeeehhh... punya penggemar nih,” kata-kata ledekan keluar untuk menyemangatkan suasana.
“Trus...trus...trus kelanjutannya gimana Da?” tanya Rani yang semakin penasaran dan diikuti sahabat-sahabat yang lain.
“Mau tau aja...” jawab Arda yang membuatku dan sahabat lain tambah penasaran. “Masa dia mau ajakin aku jalan. Hooo...” mata Arda berbinar-binar hingga seribu senyum tersungging dari bibirnya.
“Kapan?” Moli juga ingin tahu.
“To be continued....”
“Ah, kok jadi sok inggris gitu?” jawabku kesal.
Awalnya masih seperti itu. Setiap antara kami punya cerita baru, slalu ditanggapi bersama-sama.
***
“Friends... kemaren, aku jalan bareng dia. Huuu... pada ngiri loe-loe pade,” teriak Arda semangat saat bertemu kami di lorong-lorong sekolah, tepatnya di depan kelas.
“Ah sok kece lu....”
“Trus...trus...trus...?”
“Terus melulu.... Tau gak? Biasalah yang terjadi antara penggemar dan idolanya.”
“Kamu ditembak?”
“Gimana ya? Belum sih, tapi sudah ada sinyal-sinyal gitu. Tinggal nangkap aja. Menurutmu gimana Rais? Apa yang harus aku jawab saat dia nembak aku nanti?” Arda meminta pendapatku.
“Kamu yakin akan menjalin hubungan dengan cowok yang lebih kecil darimu? Brondong bok....”
“I-iya sih. Tapi wajahnya tampan banget... sayang... huuu....”
“Trus Manyu kamu apakan?” tanya Rani heran dan penasaran dengan kelanjutan kisah cinta lama Arda yang ditinggalkan di kampung halamannya.
“Abimanyu kan gak ada disini. Jadi napa mesti takut.”
“Okey, tapi apa kamu gak takut hal yang sama juga bisa menimpamu?” sahutku.
“Nah, justru itu! Aku kan sudah punya cadangan,” Arda mulai memperlihatkan keangkuhannya.
Tiada hari tanpa cerita cinta Arda, sehingga keluh kesahku tak pernah dihiraukan lagi. Akupun tak mau mencari ruang diantara cerita itu untuk menceritakan seabrek masalahku. Aku hanya bisa diam dan sesekali tersenyum pahit.
Disaat aku membutuhkan support mereka, mereka asyik dengan cerita cinta. Diamku membuat mereka tak pernah lagi bercerita di hadapanku. Mereka bercerita selalu bertiga, tanpa suaraku, tanpa kehadiranku dan tanpa nasehatku. Walaupun aku masuk di dalamnya, aku juga tak akan pernah mengerti dan nyambung dengan apa yang mereka utarakan karena banyak adegan dan moment penting bagi mereka yang aku lewatkan.
Kejenuhan sangat terasa saat Arda jadian dengan brondong itu. Sahabat-sahabatku rela menjadi pak pos diantara mereka. Selalu saja Arda yang memulai setiap moment dalam hari-hari mereka. Seolah-olah Arda lebih agresif dari cowok tersebut.
Huh...
Ternyata hubungan ini terjalin dengan maksud dan tujuan tertentu. Fakta membuktikan cowok ini mau jadi brondong dengan alasan taruhan. Taruhan yang dilakukannya dengan teman-teman sekelasnya, yang juga berusaha memikat kakak kelasnya. Entah apa yang mereka pertaruhkan? Sehingga mereka mau menjadi brondong.
Berita taruhan tersebut santer di sekolahan. Arda tak sedikitpun merespon berita tersebut. Baginya cowok tersebut hanya berstatus selingkuhan dan tak istimewa dihatinya.
“Rais, aku perhatikan kamu sekarang lebih banyak diamnya? Apalagi sejak Arda jadian. Kenapa? Gak setuju? Kenapa protesnya baru sekarang?” Moli menyidikku.
“What? Gak setuju? Buat apa mesti menyatakan setuju or no, toh pendapatku juga gak bakal didengarkan.”
“Terus kenapa? Punya masalah lagi di keluargamu?” Moli terus saja menginterogasiku.
“Gak”
“Ayo jujur dong! Biasanya juga kamu cerita.”
“Cerita? Sudahlah! Kalian juga gak bakal mau dengar, kalian lebih senang mengurus soal cinta ketimbang sebuah masalah.”
“Gak kok. Buktinya sekarang aku mau mendengarkan ceritamu. Ayo cerita!” Moli memaksaku dan memegang erat tanganku sambil digoyang-goyangkan, isyarat memohon.
“Sudahlah!”
Moli selalu memperhatikan tindak tandukku. Akupun merasa aneh dengan polahnya yang selalu menghindar dari cerita cinta itu.
“Aku bosen tiap waktu mendengar nama brondong itu disebut-sebut, seperti tak ada cerita yang lain saja.”
“Ooo kalo gitu kita sama. Gue juga bosen,” Moli setuju dengan pendapatku.
***
Moli seakan menelan ludahnya sendiri. Sejak namanya terlibat dalam cerita cinta itu, bosen yang selama ini ada telah jadi kesenangan tersendiri baginya.
Brondong tersebut menyatakan cinta juga pada Moli meskipun statusnya masih jalan dengan Arda. Dasar brondong, seperti tak ada cewek lain saja. Karena iseng, Moli pun memainkan kata-kata. Keisengan Moli diketahui dan didukung Arda tanpa sepengetahuan brondong itu.
Aku capek melihat mereka berbicara dihadapanku dengan menggunakan bahasa planet alias bahasa isyarat. Setiapku bertanya, aku selalu mendapatkan kata “Ah kamu masih kecil, gak bakalan ngerti,” sejak itu aku hanya bisa diam dan menatap saja.
UN akan menjelang, berbagai senjatapun telah dipersiapkan untuk menghadapi peperangan melawan monster ganas yang sewaktu-waktu akan siap menerkam. Hanya dalam hitungan detik mampu menghentikan masa depan dan meninggalkan segala harapan. Belajar bersama merupakan cara yang efektif untuk mengusir ketakutan pada monster ini.
Aku selalu mengajak mereka untuk belajar bersama. Namun ajakanku tak pernah singgah di hati mereka. Berbagai jurus penolakan mereka lakukan. Aku tak pernah merasa sedih dan kecewa karena masih banyak teman yang mau belajar bersamaku. Walaupun begitu, aku tak akan pernah melupakan mereka. Meski ada kelompok baru dalam hari-hariku saat ini, aku tetap mengajak mereka tanpa bosan dan jenuh. Meski tak dapat respon yag positif, aku tak pernah bosan mengajak.
Sejak ada kelompok baru itu, hubunganku dengan sahabat-sahabatku mulai merenggang. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga mereka menjaga jarak dariku.
Secara diam-diam mereka juga membentuk kelompok belajar dengan berbagai planning. Yang membuatku kecewa, satu ajakanpun tak keluar dari mulut mereka. Mereka selalu berusaha menutup-nutupi, tapi orang bodohpun akan mengerti bahasa isyarat yang mereka pakai.
“Rais, kami merasa tak enak nih. Sejak kamu belajar bareng kita, hubunganmu dengan sahabat-sahabatmu jadi jauh begini.”
“Ah gak ada apa-apa. Perasaan kalian saja mungkin. Kita kan sudah mengajak mereka. Tapi mereka selalu menolaknya,” aku berusaha menanamkan pikiran positif pada kelompok belajarku.
“Mungkin karena ada kami ya?”
“Jangan salahkan diri kalian! Mungkin aku yang salah yang tak bisa membagi waktu untuk mereka.”
Daripada aku capek memikirkan ini semua, lebih baik aku mengobati hati dengan giat belajar agar aku mampu menaklukkan monster ganas itu. Mungkin mereka tak pernah memikirkan aku. So, buat apa aku memikirkan orang yang belum tentu memikirkan kita. Tapi aku tak bisa munafik, pikiranku memang tersita untuk mereka. Aku tak mau mereka kecewa dengan nilai mereka kelak.
***
Sifat diam dan apatisku membuat mereka selalu meninggalkan aku. Wasangka demi wasangka terbesit di hati mereka. Meskipun aku telah jauh dari mereka, tapi aku masih mengikuti perkembangan kisah cinta itu. Pada hari brondong tersebut menyatakan seribu kata cinta buat Moli, temannya brondong juga menyatakan hal yang sama pada teman pacarnya.
Aku berpikir dan terus berpikir, kenapa hal ini bisa terjadi pada hari yang sama? Mungkinkah ini taruhan berikutnya?
Aku berusaha meyakinkan cewek yang ditembak oleh teman si brondong tepatnya sahabat dari pacar teman si brondong bahwa ini taruhan berikutnya. Aku sengaja menceritakan hal yang sama yang terjadi pada Moli agar cewek ini tidak terjebak. Moli mungkin tak bisa aku ingatkan karena baginya ini hanya sebuah permainan.
“Aku tak suka dengan cara Rais. Bisanya ngegosipin gue dari belakang.”
“Ngegosipin apa?” Rani kebingungan.
“Dia berusaha merusak nama baikku. Aku jalan dengan Aryo hanya main-main. Ini namanya pelecehan. Kalo seperti ini keadaannya, artinya dia nuduh aku ambil pacarmu Da,” embun bening mulai bersinar dari mata Moli yang sipit.
“Jangan berprasangka dulu! Gak mungkin Rais melakukan hal itu!” Arda tak percaya.
“Aku dengar sendiri dari pacarnya Tio temannya Aryo. Dia tanya, apa aku juga ditembak oleh Aryo sama halnya yang dilakukan Tio pada sahabatnya. Dia juga bilang tahu hal ini dari Fa. Kita tahu sendirikan, Fa adalah kelompok belajarnya Rais. Gak mungkin dia bohong. Karena yang tahu hal ini hanya kita berempat. Dasar pengkhianat! Beraninya Cuma main belakang,” Moli meluapkan emosinya.
“Ngapain mesti didengarkan jika kamu benar-benar tak bermaksud merebut cowokku.”
Moli menganggap pemberitahuanku pada cewek tersebut untuk merusak nama baiknya. Well,.. aku yang jadi sasaran. Aku dicap main belakang. Terungkap sudah mengapa mereka selalu meninggalkan aku. Ternyata ini penyebabnya. Mereka salah paham dengan apa yang aku lakukan.
***
“Rais, sori ya selama ini aku mengabaikanmu. Aku lebih sibuk dengan Aryo. Oh ya aku mau curhat, boleh? Masih membuka hati buat aku kan? Kamu gak dendamkan?” Arda mendekati tempat dudukku di sebuah Bus yang kami tumpangi untuk melepas kejenuhan otak melawan monster UN.
Hatiku miris mendengar pertanyaan Arda. Selama ini kemana saja dia? Sekarang saat butuh, baru aku kembali dicarinya. “Ya sudah cerita saja,” jawabku ramah.
“Hubunganku sama Moli dan Rani kurang baik,” Arda memulai ceritanya.
Semua bermula saat anak-anak berencana pergi ke pemandian. Mereka setuju untuk ikut. Tapi setelah tahu aku ingin sekali kesana karena belum pernah, mereka mengurungkan niat. Dengan hati iba aku pulang ke rumah. Besoknya aku tahu mereka jadi ikut, bersama Aryo lagi. Sakit hatiku, aku ditipu mentah-mentah. Sejak itu kami tak pernah teguran. Meski mereka telah meminta maaf melalui Aryo. Oh ya, kamu beneran ceritakan berita jadian Moli dengan Aryo ke teman-teman?”
“Sapa bilang? Aku Cuma bilang pada Fa agar temannya menolak Tio untuk dijadikan selingkuhan.”
“Tapi semua ini tersebar kemana-mana. Bukan hanya Fa dan temanya saja yang tahu.”
“Ya, aku tak bermaksud apa-apa. Hanya saja temannya Fa jangan sampai jadi bahan taruhan juga.”
“Kita cuekin kamu selama ini gara-gara itu. Moli anggap kamu main belakang.”
“Main belakang? Demi Allah...! aku tak punya maksud apa-apa. Jika kamu tak percaya, boleh tanya langsung pada Fa!”
Masalah ini menemukan titik terang. Terungkap sudah semua. Fa berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Fa pun kesal.
Refreshing yang dianggap banyak orang untuk menghilangkan kepenatan otak telah menjadi luka baru bagiku. Aku sangat kecewa pada sahabat-sahabatku. Padahal persahabatan ini terjalin sudah sejak lama. Kenapa kebersamaan tak mampu membuat mereka mengerti dan saling mengenal tabiat sahabatnya sendiri.
Air mata ini tak mampu ku bendung selama perjalanan ini. Sedih, kecewa dan hatiku terluka atas prasangka sahabatku. Ini refreshing kelabu pertama yang ku miliki. Biarlah semua ini jadi catatan buku Diary-ku...
Pemandangan yang indah tak sedikitpun menyita perhatianku. Masalah ini menyilaukan pemikiran, sehingga aku tak mampu lagi berpikir untuk menghilangkan kejenuhan. Mata yang sembab mengkelami pemandangan, aku pusing dengan semua ini.
Tanganku ditarik keluar dari bus. “Hei apa-apaan ini?”
“Apa sih yang kamu pikirkan di dalam bus itu? Sudahlah nikmati perjalanan kita! Mubazir uang yang kita keluarkan jika kita tak menikmati perjalanan ini. Lihat Raisha! Betapa indahnya pemandangan ini. Raisha... lihat! Bagaimana dengan gayaku seperti ini,” teriak salah seorang kelompok belajarku sembari bergaya di hamparan kebun teh yang hijau itu dengan menggunakan topi dan keranjang di bahunya, mirip buruh pemetik teh.
Aku hanya tersenyum melihat kegirangan mereka. Mereka berhasil membuatku sedikit terlupa dengan kesedihanku. Polah mereka yang bergaya pemetik teh membuat salah seorang diantara mereka jatuh tersungkur. Aku terbahak melihat kejadian itu.
“Hai, Raisha... dari tadi aku perhatikan kamu hanya berdiam diri dan tak menikmati perjalanan ini. Matamu bengkak lagi,” sapaan lembut dari salah seorang teman cowok sekelasku. Aku langsung terpekur dan tertunduk malu karena mataku yang bengkak.
“Hah, gak apa-apa,” aku berlalu dari situ.
“Tunggu Rais, kamu mau foto barengku?” sedikit terkejut aku berbalik menatapnya.
“Jeeh...” teman-teman menggodaku.
“Apa-apaan sih?” jika menyinggung masalah hati dan perasaan, aku selalu jadi orang yang paling sensitif. Acara itu berlalu begitu saja. Sedikit aku menikmati perjalanan ini.
Diary...
Hari ini aku mendapatkan pesan singkat dari salah seorang sahabatku yang menyatakan dia tak merasa cocok denganku. Aku hanya bisa sabar dan tersenyum dengan sebuah pengakuan ini. Aku tak kan bersedih, menurutku itu lebih baik. Daripada dia terus membohongiku dan dirinya sendiri.
Diary...
Aku hanya bisa berdo’a kepada Yang Kuasa agar kelak mereka menemukan sahabat yang cocok untuk mereka. Kabulkanlah ya Rabb...!
Yang aku sesalkan, kenapa persahabatan ini berakhir hanya gara-gara brondong si Playboy amatiran. Cari selingkuhan, sahabat pacarnya sendiri. Dasar gak kreatif! Selingkuh aja diketahui semua orang. Cari sensasi lo? Kaya selebriti aja. Kalo mau jadi seleb nongkrong di TV no! Brondong-brondong... emang perusak lu ye...
Dan persahabatan ini belum tentu titik terangnya. Mungkin hanya waktu yang bisa menilainya. Ending cerita cinta ini...? terserah brondong itu kali ye.
“Seorang sahabat yang baik adalah seseorang yang mau menerima segala perlakuan sahabatnya.” Aku harus ikhlas dan siap kelak mereka harus membuang dan melupakan aku. Tapi aku tak akan pernah melupakan mereka. Mereka akan selalu ada dalam hatiku.
Jangan pernah berusaha mencari sahabat yang cocok bagimu! Tapi introspeksilah! Mampukah kamu menjadi sahabat yang baik bagi orang lain? Jika mampu, semua orang telah menjadi sahabat bagimu. (MARET 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar