Jumat, 06 April 2012

SEPASANG MATA HATI

Tinggal beberapa bulan lagi aku bernaung di sekolah ini. Itu artinya akan ada hal yang baru yang harus aku lewati. Untuk mencapai semua itu perlu kerja keras dan motivasi yang kuat.
Hidupku yang selalu begini membuatku sesak dan pelak untuk menjalaninya. Pasalnya dari waktu ke waktu aku belum mampu lepas dari wanita tua itu. Seorang wanita yang membuat gerak hidupku terbelenggu. Selalu alasan itu-itu saja yang ku terima ketika aku menginginkan sesuatu.
“Maaf, Nak! Ibu tak mampu membelikannya untukmu. Dari mana Ibu akan mendapatkan uang sebanyak itu.”
Tak satupun kegiatan sekolah yang bisa aku ikuti, terkecuali pihak sekolah memberikan dana untukku mengikuti kegiatan itu karena prestasi yang slalu ku ukir mengangkat nama baik sekolah. Terkadang hatinya yang keras membujuk dan merayuku untuk tidak mengikuti segala kegiatan di luar kota. Hingga dari waktu ke waktu hatiku membeku mengikuti perintahnya.
“Siapalah dia, mampu melarang-larangku. Dulu, aku turuti kehendaknya karena aku hanya bocah kecil yang telah diatur hidungnya bak kerbau peliaraan. Sekarang aku sudah dewasa, sudah tau mana yang baik untukku. Tak satupun mampu melarangku untuk mengikuti setiap kegiatan yang ingin aku ikuti. Apalagi ini bukanlah uang dari jerih payahnya. Ini hadiah sekolah untukku.”
Harapan demi harapan ku ucap pada Yang Maha Kuasa agar secepatnya sukses menghampiriku, terkadang terucap juga olehku kapan wanita tua ini akan lenyap dari kehidupanku agar aku mendapatkan uang duka untuk masa depanku. Tapi Tuhan berkehendak lain, Dia menciptakannya untuk selalu berada disampingku. Alamak, hidupku seperti jauh dari ketenangan karena semua orang mengusik kehadirannya di dekatku. Seperti berjalan pada sebuah padang yang busuk, tak satupun orang yang menoleh padaku. Termasuk seorang wanita yang dielukan setiap pria.
“Ini Ibumu Wan? Haha... kok bisa ya pria setampan kamu mempunyai ibu cacat seperti ini? Mau menuju ke suatu arah saja harus menggunakan tongkat dan memanjar-manjar sesuatu yang di dekatnya. Kasihan sekali kamu Wan, pantaslah dari dulu kamu hidup seperti ini saja.”
Sontak wajahku merah padam mendengar cercaan yang menusuk ulu hatiku. Mataku nanar tak bergerak, tubuhku membeku diam terpaku. Dendam semakin menjarahiku, tertancap hebat pada memory otakku. Meski dia adalah ibu kandungku. Tanpa pikir panjang ku hardik Ibu sesampainya ku di rumah, terlalu lancang dia menghampiriku ke sekolah. Apa dia sengaja mempermalukanku di depan teman-temanku?
Hidupku semakin hampa, tak berarah, tak tentu tujuan, rasanya tak ada motivasi untuk maju, terkecuali hidup jauh dari wanita ini. Kelak jika aku mampu merauk kesuksesan, tentunya wanita ini tak kan lagi di sampingku. Kemandirian yang akan memberi jalan untukku.
Aku ikuti setiap jalan yang mengantarkanku untuk merenggut beasiswa ke luar negeri, tak sedikit uang yang sudah ku keluarkan untuk itu. Aku pun mulai terkesiap keheranan dengan kesanggupan ibu mengeluarkan uang banyak. Kenapa kali ini dia mengabulkan semua keinginanku? Dulu tak satupun keinginanku dipenuhinya, apalagi jika keinginanku bepergian ke luar kota. Tanda tanya ini menancap berbaris di ubun-ubunku. Namun tak pernah ku tanyakan langsung.
Hari ini hari yang sangat mendebarkan jantungku. Setiap helaan nafas yang ku ucap hanyalah doa agar aku lulus pada tes itu. Alhasil, aku akan jauh dari penjara hidup. Aku akan lepas dari sangkar busuk yang jadi kerangkeng kesuksesanku jika aku lulus melanjutkan studiku ke negara itu. “Hmm... selamat tinggal perempuan tua,” batinku membangga.
Ku susuri langkah kaki menuju gedung tempat pengumuman kelulusan terpampang. Langkah demi langkah membuatku tersenyum dengan keyakinanku. Pasalnya dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, aku yang pegang kendali menjadi juara umum. Matahari yang menyengat kulit, daun yang hanya diam tak tergoyang angin, peluh membuncah dari pori-pori hasil metabolisme biologis membasahi tubuh, menyurutkan langkah menciutkan nyaliku.
Pemandangan apa yang ku lihat, tak satupun peserta tes berada di pojok pengumuman bertengger. Hatiku mulai kabur dan nanar memandangi pojok papan. Setahuku pengumumannya ke luar hari ini. Sedikit demi sedikit langkah kakiku mulai ciut tak pasti. “Alah, mungkin mereka sudah tak yakin lulus. Makanya tak satupun berada di tempat ini. Terlebih lagi cuaca seekstrim ini, untuk apa membuang tenaga menunggu pengumuman yang tak pasti, jika toh pada akhirnya tak lulus,” kembali arogansi membelenggu hatiku.
“Maaf, Dik! Ada yang bisa saya bantu,” seseorang membuatku terkejut dan seketika langkah kakiku terhenti. Namun ku masih membisu seribu bahasa.
“Ooo pasti kamu salah satu peserta tes sekolah ke luar negeri ya? Tadi pagi memang banyak yang datang kesini menanyakan hasil tes itu. Namun pengumumannya dikirim melalui surat ke alamat masing-masing peserta, guna menghindari terjadinya kekacauan di gedung ini.”
Hatiku lelah mendengar pemberitahuan itu. Betapa bodohnya aku tak mengetahui info sepenting itu. Jika saja aku terlambat mengetahuinya, mungkin hidupku akan berhenti karena pelaknya aku pada wanita tua yang selalu bersamaku.
Tak sabar menunggu, kakiku melesat dengan kecepatan penuh. Ku tinggalkan pria yang tadi memberikan informasi padaku tanpa berpamitan sepatah katapun.
Pintu buruk tak tertutup, tak biasa pemandangan seperti ini. Ketika aku pulang ke rumah semua masakan Ibu telah terhidang pada meja makan yang lusuh dan lapuk. Namun penataan ibu membuatnya masih berdiri indah sampai seribu tahun lagi.
“Kemana Ibu? Sekarang sudah pukul tiga sore, aku lapar. Kenapa tak satupun makanan tertungkup di meja ini? Atau jangan-jangan dia sudah terkapar? Di dapur atau di kamar mandi? Hahaha....”
Ketika orang memandangku, mereka akan berkata anak macam apa aku ini, Hidup dari ketidak berdayaan Ibu. Tapi semua ku lakukan karena dia juga. Kenapa dia harus membuatku dipermalukan dalam hidup, harusnya dia yang dipersalahkan, dia yang melahirkan aku sehingga aku jadi seperti ini dan ini bukan kehendakku. Jika saja aku bisa memilih, aku tak pernah ingin lahir dari rahimnya.
“Ibu!!! Ibu!!! Mana makanan untukku?” tak satu sahutan pun ku dengar. Ku teruskan langkah ke dapur yang sangat kotor dan berantakan. Bagaimana tidak, mana mungkin seorang wanita buta mampu membersihkannya. Sedangkan dia saja tak melihat dan mengetahui tempat-tempat yang kotor. Tapi yang sangat membuatku terkesima, apapun untukku tak pernah dalam keadaan kotor. Apakah ini yang dikatakan kasih sayang. Tiba-tiba hati ini mulai lembek.
“Tidak, mana mungkin aku merasa kasihan padanya, yang tak pernah kasihan kepadaku.”
Hatiku semakin luluh melihat cairan bening menganak sungai dari matanya yang tak bersinar. Sudah delapan belas tahun umurku, tak pernah sekalipun ku lihat air mata jatuh melesat di pipinya yang kisut. Mungkinkah dia sakit?
“Sudah tahu sakit masih saja mencuci ke rumah tetangga-tetangga. Begini jadinya kan? Tak satu makanan pun terhidang di meja makan. Aku tuh lapar Bu.” Masih saja tak terdengar gelombang transversal yang merambat ke membran tympaniku.
“Tadi Pak pos kesini gak Bu?” masih saja perkataanku tak digubris, hanya suara sedu sedan yang ku dengar. Dengan sedikit emosi, ku menoleh ke arah ibu. Kulihat secarik kertas dalam genggamannya yang telah basah oleh air mata. Hatiku meringis, jantungku berdegup kencang, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Tapi mengapa dia menangis? Apa isi surat itu? Bagaimana mungkin dia mengetahui isi kertas yang digenggamnya?
Ku perhatikan dengan seksama kata demi kata pada kertas lusuh di tangannya, pasalnya tinta-tintanya telah luntur oleh air mata Ibu. Emosiku mereda saat ku lihat sebuah kata “Lulus” bertengger di bawah namaku.
“Alhamdulillah...”
Akhirnya keinginanku tercapai juga dan jauh darinya sudah di depan mata. Tak ada rasa kasihan sedikitpun yang membelenggu. Dengan bangga ku persiapkan segala keberangkatanku tanpa ingin mengetahui perasaan dan persetujuan dari wanita rapuh yang berada di hadapanku.
***
Selang waktu terus bergulir mengikuti detik-detik jarum yang searah rotasi bumi. Kebahagiaan terus menghampiri, terlebih lagi ada wanita cantik nan setia berada terus disampingku. Tak urung lagi niatku, segeraku persunting dia lepas tamat studi di Negeri Jiran Malaysia.
Setelah menikah, dia tak keberatan mengikuti kemanapun aku mau. Aku pun membeli rumah bersebelahan dengan kampung yang dulu membesarkanku. Entah mengapa ini aku lakukan, akupun tak tahu. Memutar waktu, aku sangat ingin kabur dari rantai belenggu wanita tua kisut yang menemani jalan hidupku. Namun apa yang aku lakukan hari ini?
Keberadaanku diketahui Ibu, rasa rindu yang mendalam mengayunkan langkahnya menuju rumah. “Assalamualaikum,” dengan sekejap isteriku membukakan pintu dan seketika anak-anakku berhamburan keluar.
“Ada orang gila... ada orang gila... aaaa mama aku takut,” anak-anakku menguntit dari belakang mamanya. Belum sempat berkata, wanita tua itu berujar “ Maaf, aku salah rumah.”
“Siapa Ma? Kenapa anak-anak ketakutan?”
“Itu Pa, ada pengemis buta mengetuk pintu rumah kita,” sejurus ku ingat mungkin dia Ibu. Segera ku langkahkan kaki ke pekarangan rumah.
“Beraninya kamu datang ke rumahku dan menakut-nakuti anak-anakku, pergi dari sini sekarang juga! Dasar pengemis tak tahu aturan,” teriakku memaki-makinya.
Hatiku terus dihantui rasa bersalah, bagaimana mungkin aku mampu berkata kasar pada Ibuku sendiri. Seminggu berlalu ku datangi gubuk derita yang membesarkanku.
“Ridwan kau kah itu? Setiap waktu ku menunggu kehadiranmu. Tak lelah hatiku berharap kau akan mengunjungiku suatu saat sebelum izrail menjemputku. Nak, benarkah kau disitu?” ku abaikan saja pertanyaan itu. Tak ada ubahnya gubuk derita ini, selalu saja kumuh dan bak kapal pecah diterjang ombak di samudera.
Sebulan berlalu tak sedetikpun ku memikirkan wanita renta di gubuk deritaku. Bagaimana dia sekarang, sudahkah Izrail membawanya pergi? Tiga hari berturut-turut dia hadir dan tersenyum dalam dunia bawah sadarku. Tanpa ku sadari hatiku merindu menggelung di sukma batinku.
Sepasang kaki mengayun tanpa sadar menyusuri gubuk tua nan lusuh sepi penghuni. Entah magnet apa yang menariku kesana? Halaman berpagarkan besi di ceplok cat berwana hijau, dinding pelupuh bergganti batu. megah memang, namun terlihat sederhana oleh hiasan lukisan kisah hidupku.
Sedikit terkejut dan berprasangka, ku duga Ibu menikah lagi. Tapi mana mungkin ada pria yang mau menikahi perempuan tua yang buta yang tak bisa mengerjakan apa-apa.
“Ridwan, akhirnya kamu mau mengunjungi rumah ini,” seorang wanita sebayaku menegur. “Kamu mencari Ibumu?” tanpa jawaban sepatah katapun, wanita ini terus saja mengoceh.
“Kenapa baru sekarang kamu mengunjungi tempat ini? Tapi, bagaimana menurutmu, rumah ini sudah sedikit baguskan? Rumah Ibumu ini dijadikan panti asuhan, sesuai amanatnya. Ibumu wanita yang sangat mulia, meski tak sempurna, dia selalu berusaha jadi wanita yang sempurna untuk orang lain, termasuk untukmu. Tapi sayang, belum sempat aku mengenalnya lebih jauh, beliau telah menghadap keharibaan-Nya,” sejenak ocehannya terhenti dan mengeluarkan air mata.
Bagaimana mungkin dia menangisi wanita tua yang tak berguna sedangkan mereka tak punya ikatan apa-apa. Atau mungkin ini anak hasil perselingkuhannya, pikiran buruk menancap lagi di benakku. Aku tak terharu ataupun menangis mendengar kepergian wanita tua itu. Malah bathinku teriris. Sudah tak berguna seperti itu, masih saja berbuat hal yang memalukan. Pantaslah dia mendapatkan hukuman Tuhan tak dapat melihat dunia yang indah ini.
“Oh, ya Ridwan Ibumu hanya meninggalkan ini untukmu.”
Anakku tersayang.....
Aku memikirkanmu setiap saat. Apakah kau baik-baik saja? Adakah kau bahagia dengan kesuksesan yang kau raih? Ibu terus berharap kebahagiaanmu adalah pelukan Ibu. Namun sepertinya Ibu bermimpi akan bisa memelukmu lagi.
Maafkan Ibu datang ke rumahmu mengunjungi keluargamu! Ibu sangat merindukanmu, Ibu ingin melihat anak yang Ibu cintai bahagia dan mampu mencapai apa yang diimpikannya karena Ibu tak pernah mampu membahagiakanmu. Aku ingin melihat menantu dan cucu-cucuku. Hah, Aku lega dan bahagia dapat menatapnya walau pada akhirnya kau mengusirku.
Maafkan aku yang selalu membebanimu, menghambat prestasimu, menghalangi segala kegiatanmu ke luar kota. Padahal ku tahu itu suatu hal yang sangat diidam-idamkan setiap siswa sepertimu. Bukannya aku membencimu, tapi ini hanya sebatas pejagaanku padamu. Aku tak ingin kehilanganmu seperti halnya aku kehilangan ayahmu.
Sewaktu kamu masih kecil, aku, ayahmu juga dirimu menumpangi kereta na’as itu. Ayahmu tiada, terhimpit gerbong kereta. Sedangkan kamu, kehilangan kedua matamu. Jika aku boleh memilih, kenapa bukan aku saja yang mengalami kebutaan itu. Ingin rasanya ku habisi waktuku. Tapi melihat kepolosan dan kelucuan dirimu membuatku bangkit dari keterpurukanku.
Sebagai seorang Ibu, aku tak tega melihatmu tak mampu menatap dunia. Aku tak bisa melihatmu tersandung, bahkan oleh kerikil sekalipun karna gangguan matamu kala itu. Jadi ku hadiahkan mataku untukmu. Biarlah ku tatap hidupku, hidupmu dengan mata hatiku. Aku yakin aku masih bisa menjaga dan merawatmu meski tanpa mata sekalipun.
Di kala kau terlelap, tak ku biarkan nyamuk-nyamuk nakal itu menghampirimu. Ketika pagi menjelang, tak ku biarkan kau merasa kelaparan meski aku mengantuk karena tak tidur semalaman menjagamu. Begitu seterusnya pengabdianku untuk kebahagiaanmu dan untuk ayahmu yang ku cintai karna janjiku satu untuk mencintainya seumur hidupku.
Kau tahu anakku, aku sangat bangga padamu. Kau telah mengenalkanku dengan dunia baru untukku, indahnya jadi seorang Ibu. Aku akan selalu hidup untukmu, tempatku di matamu bersama cintaku. Jagalah selalu mata itu.
Salam cintaku,

Ibumu
Sungguh penyesalan yang teramat dalam mendapati Ibu yang sangat mencintaiku telah meninggalkanku untuk selamanya. Namun ku belum sempat berbuat baik padanya ataupun memberikan yang diinginkannya. Bahkan matanya yang selalu digunakannya untuk merawatku, ku biarkan melihatnya rapuh, jatuh dan terpuruk tak berdaya. Apa guna mata ini jika tak mampu ku gunakan untuk menbahagiakan orang yang memiliki mata ini.
Dunia seakan berputar, awan mulai menghitam legam, langitpun serasa menghimpit, mataku mulai kabur dan seketika tubuhku terhuyung tersungkur di hadapan pusara Ibu yang masih merah dan basah.
“Ibu, ampuni aku yang durhaka ini! Tak pantas aku hidup dari belas kasihanmu. Ampuni aku Bu!”

Read More......

Kamis, 15 Desember 2011

Cerpen Remaja


BRONDONG AMATIRAN
Senyum itu seakan lenyap dari persahabatan kami. Jauh sebelumnya, senyum selalu hadir di dalam hari-hari. Haha... haha... brondong amatiran telah membawanya pergi. Kok bisa ya? Persahabatan yang telah lama terjalin, harus ternoda oleh brondong?
Sejak cowok satu ini meradang dalam persahabatan kami, banyak kata-kata rahasia dan isyaratpun dimainkan. Sejak ini pula warna dari persahabatan kami mulai pudar. Di setiap berkumpul, mereka curhat hanya berdua-duaan saja. Tak seperti dulu, satu untuk semua.
Boring... boring... kata-kata ini seolah tertancap di hati. Walau ku tak pernah mengungkapkan. Tapi, menurutku sikap saja cukup untuk mereka mengerti dan mengetahui kejenuhan seorang sahabat. Kenyataannya, bagi mereka sikap saja tak cukup agar mereka mengerti.
“Hey Guys... ada adik kelas yang terus-terusan nitip salam padaku. Sampai-sampai dia nanyain no Hpku.”
“Beneran? Jeeehhh... punya penggemar nih,” kata-kata ledekan keluar untuk menyemangatkan suasana.
“Trus...trus...trus kelanjutannya gimana Da?” tanya Rani yang semakin penasaran dan diikuti sahabat-sahabat yang lain.
“Mau tau aja...” jawab Arda yang membuatku dan sahabat lain tambah penasaran. “Masa dia mau ajakin aku jalan. Hooo...” mata Arda berbinar-binar hingga seribu senyum tersungging dari bibirnya.
“Kapan?” Moli juga ingin tahu.
“To be continued....”
“Ah, kok jadi sok inggris gitu?” jawabku kesal.
Awalnya masih seperti itu. Setiap antara kami punya cerita baru, slalu ditanggapi bersama-sama.
***
“Friends... kemaren, aku jalan bareng dia. Huuu... pada ngiri loe-loe pade,” teriak Arda semangat saat bertemu kami di lorong-lorong sekolah, tepatnya di depan kelas.
“Ah sok kece lu....”
“Trus...trus...trus...?”
“Terus melulu.... Tau gak? Biasalah yang terjadi antara penggemar dan idolanya.”
“Kamu ditembak?”
“Gimana ya? Belum sih, tapi sudah ada sinyal-sinyal gitu. Tinggal nangkap aja. Menurutmu gimana Rais? Apa yang harus aku jawab saat dia nembak aku nanti?” Arda meminta pendapatku.
“Kamu yakin akan menjalin hubungan dengan cowok yang lebih kecil darimu? Brondong bok....”
“I-iya sih. Tapi wajahnya tampan banget... sayang... huuu....”
“Trus Manyu kamu apakan?” tanya Rani heran dan penasaran dengan kelanjutan kisah cinta lama Arda yang ditinggalkan di kampung halamannya.
“Abimanyu kan gak ada disini. Jadi napa mesti takut.”
“Okey, tapi apa kamu gak takut hal yang sama juga bisa menimpamu?” sahutku.
“Nah, justru itu! Aku kan sudah punya cadangan,” Arda mulai memperlihatkan keangkuhannya.
Tiada hari tanpa cerita cinta Arda, sehingga keluh kesahku tak pernah dihiraukan lagi. Akupun tak mau mencari ruang diantara cerita itu untuk menceritakan seabrek masalahku. Aku hanya bisa diam dan sesekali tersenyum pahit.
Disaat aku membutuhkan support mereka, mereka asyik dengan cerita cinta. Diamku membuat mereka tak pernah lagi bercerita di hadapanku. Mereka bercerita selalu bertiga, tanpa suaraku, tanpa kehadiranku dan tanpa nasehatku. Walaupun aku masuk di dalamnya, aku juga tak akan pernah mengerti dan nyambung dengan apa yang mereka utarakan karena banyak adegan dan moment penting bagi mereka yang aku lewatkan.
Kejenuhan sangat terasa saat Arda jadian dengan brondong itu. Sahabat-sahabatku rela menjadi pak pos diantara mereka. Selalu saja Arda yang memulai setiap moment dalam hari-hari mereka. Seolah-olah Arda lebih agresif dari cowok tersebut.
Huh...
Ternyata hubungan ini terjalin dengan maksud dan tujuan tertentu. Fakta membuktikan cowok ini mau jadi brondong dengan alasan taruhan. Taruhan yang dilakukannya dengan teman-teman sekelasnya, yang juga berusaha memikat kakak kelasnya. Entah apa yang mereka pertaruhkan? Sehingga mereka mau menjadi brondong.
Berita taruhan tersebut santer di sekolahan. Arda tak sedikitpun merespon berita tersebut. Baginya cowok tersebut hanya berstatus selingkuhan dan tak istimewa dihatinya.
“Rais, aku perhatikan kamu sekarang lebih banyak diamnya? Apalagi sejak Arda jadian. Kenapa? Gak setuju? Kenapa protesnya baru sekarang?” Moli menyidikku.
“What? Gak setuju? Buat apa mesti menyatakan setuju or no, toh pendapatku juga gak bakal didengarkan.”
“Terus kenapa? Punya masalah lagi di keluargamu?” Moli terus saja menginterogasiku.
“Gak”
“Ayo jujur dong! Biasanya juga kamu cerita.”
“Cerita? Sudahlah! Kalian juga gak bakal mau dengar, kalian lebih senang mengurus soal cinta ketimbang sebuah masalah.”
“Gak kok. Buktinya sekarang aku mau mendengarkan ceritamu. Ayo cerita!” Moli memaksaku dan memegang erat tanganku sambil digoyang-goyangkan, isyarat memohon.
“Sudahlah!”
Moli selalu memperhatikan tindak tandukku. Akupun merasa aneh dengan polahnya yang selalu menghindar dari cerita cinta itu.
“Aku bosen tiap waktu mendengar nama brondong itu disebut-sebut, seperti tak ada cerita yang lain saja.”
“Ooo kalo gitu kita sama. Gue juga bosen,” Moli setuju dengan pendapatku.
***
Moli seakan menelan ludahnya sendiri. Sejak namanya terlibat dalam cerita cinta itu, bosen yang selama ini ada telah jadi kesenangan tersendiri baginya.
Brondong tersebut menyatakan cinta juga pada Moli meskipun statusnya masih jalan dengan Arda. Dasar brondong, seperti tak ada cewek lain saja. Karena iseng, Moli pun memainkan kata-kata. Keisengan Moli diketahui dan didukung Arda tanpa sepengetahuan brondong itu.
Aku capek melihat mereka berbicara dihadapanku dengan menggunakan bahasa planet alias bahasa isyarat. Setiapku bertanya, aku selalu mendapatkan kata “Ah kamu masih kecil, gak bakalan ngerti,” sejak itu aku hanya bisa diam dan menatap saja.
UN akan menjelang, berbagai senjatapun telah dipersiapkan untuk menghadapi peperangan melawan monster ganas yang sewaktu-waktu akan siap menerkam. Hanya dalam hitungan detik mampu menghentikan masa depan dan meninggalkan segala harapan. Belajar bersama merupakan cara yang efektif untuk mengusir ketakutan pada monster ini.
Aku selalu mengajak mereka untuk belajar bersama. Namun ajakanku tak pernah singgah di hati mereka. Berbagai jurus penolakan mereka lakukan. Aku tak pernah merasa sedih dan kecewa karena masih banyak teman yang mau belajar bersamaku. Walaupun begitu, aku tak akan pernah melupakan mereka. Meski ada kelompok baru dalam hari-hariku saat ini, aku tetap mengajak mereka tanpa bosan dan jenuh. Meski tak dapat respon yag positif, aku tak pernah bosan mengajak.
Sejak ada kelompok baru itu, hubunganku dengan sahabat-sahabatku mulai merenggang. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga mereka menjaga jarak dariku.
Secara diam-diam mereka juga membentuk kelompok belajar dengan berbagai planning. Yang membuatku kecewa, satu ajakanpun tak keluar dari mulut mereka. Mereka selalu berusaha menutup-nutupi, tapi orang bodohpun akan mengerti bahasa isyarat yang mereka pakai.
“Rais, kami merasa tak enak nih. Sejak kamu belajar bareng kita, hubunganmu dengan sahabat-sahabatmu jadi jauh begini.”
“Ah gak ada apa-apa. Perasaan kalian saja mungkin. Kita kan sudah mengajak mereka. Tapi mereka selalu menolaknya,” aku berusaha menanamkan pikiran positif pada kelompok belajarku.
“Mungkin karena ada kami ya?”
“Jangan salahkan diri kalian! Mungkin aku yang salah yang tak bisa membagi waktu untuk mereka.”
Daripada aku capek memikirkan ini semua, lebih baik aku mengobati hati dengan giat belajar agar aku mampu menaklukkan monster ganas itu. Mungkin mereka tak pernah memikirkan aku. So, buat apa aku memikirkan orang yang belum tentu memikirkan kita. Tapi aku tak bisa munafik, pikiranku memang tersita untuk mereka. Aku tak mau mereka kecewa dengan nilai mereka kelak.
***
Sifat diam dan apatisku membuat mereka selalu meninggalkan aku. Wasangka demi wasangka terbesit di hati mereka. Meskipun aku telah jauh dari mereka, tapi aku masih mengikuti perkembangan kisah cinta itu. Pada hari brondong tersebut menyatakan seribu kata cinta buat Moli, temannya brondong juga menyatakan hal yang sama pada teman pacarnya.
Aku berpikir dan terus berpikir, kenapa hal ini bisa terjadi pada hari yang sama? Mungkinkah ini taruhan berikutnya?
Aku berusaha meyakinkan cewek yang ditembak oleh teman si brondong tepatnya sahabat dari pacar teman si brondong bahwa ini taruhan berikutnya. Aku sengaja menceritakan hal yang sama yang terjadi pada Moli agar cewek ini tidak terjebak. Moli mungkin tak bisa aku ingatkan karena baginya ini hanya sebuah permainan.
“Aku tak suka dengan cara Rais. Bisanya ngegosipin gue dari belakang.”
“Ngegosipin apa?” Rani kebingungan.
“Dia berusaha merusak nama baikku. Aku jalan dengan Aryo hanya main-main. Ini namanya pelecehan. Kalo seperti ini keadaannya, artinya dia nuduh aku ambil pacarmu Da,” embun bening mulai bersinar dari mata Moli yang sipit.
“Jangan berprasangka dulu! Gak mungkin Rais melakukan hal itu!” Arda tak percaya.
“Aku dengar sendiri dari pacarnya Tio temannya Aryo. Dia tanya, apa aku juga ditembak oleh Aryo sama halnya yang dilakukan Tio pada sahabatnya. Dia juga bilang tahu hal ini dari Fa. Kita tahu sendirikan, Fa adalah kelompok belajarnya Rais. Gak mungkin dia bohong. Karena yang tahu hal ini hanya kita berempat. Dasar pengkhianat! Beraninya Cuma main belakang,” Moli meluapkan emosinya.
“Ngapain mesti didengarkan jika kamu benar-benar tak bermaksud merebut cowokku.”
Moli menganggap pemberitahuanku pada cewek tersebut untuk merusak nama baiknya. Well,.. aku yang jadi sasaran. Aku dicap main belakang. Terungkap sudah mengapa mereka selalu meninggalkan aku. Ternyata ini penyebabnya. Mereka salah paham dengan apa yang aku lakukan.
***
“Rais, sori ya selama ini aku mengabaikanmu. Aku lebih sibuk dengan Aryo. Oh ya aku mau curhat, boleh? Masih membuka hati buat aku kan? Kamu gak dendamkan?” Arda mendekati tempat dudukku di sebuah Bus yang kami tumpangi untuk melepas kejenuhan otak melawan monster UN.
Hatiku miris mendengar pertanyaan Arda. Selama ini kemana saja dia? Sekarang saat butuh, baru aku kembali dicarinya. “Ya sudah cerita saja,” jawabku ramah.
“Hubunganku sama Moli dan Rani kurang baik,” Arda memulai ceritanya.
Semua bermula saat anak-anak berencana pergi ke pemandian. Mereka setuju untuk ikut. Tapi setelah tahu aku ingin sekali kesana karena belum pernah, mereka mengurungkan niat. Dengan hati iba aku pulang ke rumah. Besoknya aku tahu mereka jadi ikut, bersama Aryo lagi. Sakit hatiku, aku ditipu mentah-mentah. Sejak itu kami tak pernah teguran. Meski mereka telah meminta maaf melalui Aryo. Oh ya, kamu beneran ceritakan berita jadian Moli dengan Aryo ke teman-teman?”
“Sapa bilang? Aku Cuma bilang pada Fa agar temannya menolak Tio untuk dijadikan selingkuhan.”
“Tapi semua ini tersebar kemana-mana. Bukan hanya Fa dan temanya saja yang tahu.”
“Ya, aku tak bermaksud apa-apa. Hanya saja temannya Fa jangan sampai jadi bahan taruhan juga.”
“Kita cuekin kamu selama ini gara-gara itu. Moli anggap kamu main belakang.”
“Main belakang? Demi Allah...! aku tak punya maksud apa-apa. Jika kamu tak percaya, boleh tanya langsung pada Fa!”
Masalah ini menemukan titik terang. Terungkap sudah semua. Fa berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Fa pun kesal.
Refreshing yang dianggap banyak orang untuk menghilangkan kepenatan otak telah menjadi luka baru bagiku. Aku sangat kecewa pada sahabat-sahabatku. Padahal persahabatan ini terjalin sudah sejak lama. Kenapa kebersamaan tak mampu membuat mereka mengerti dan saling mengenal tabiat sahabatnya sendiri.
Air mata ini tak mampu ku bendung selama perjalanan ini. Sedih, kecewa dan hatiku terluka atas prasangka sahabatku. Ini refreshing kelabu pertama yang ku miliki. Biarlah semua ini jadi catatan buku Diary-ku...
Pemandangan yang indah tak sedikitpun menyita perhatianku. Masalah ini menyilaukan pemikiran, sehingga aku tak mampu lagi berpikir untuk menghilangkan kejenuhan. Mata yang sembab mengkelami pemandangan, aku pusing dengan semua ini.
Tanganku ditarik keluar dari bus. “Hei apa-apaan ini?”
“Apa sih yang kamu pikirkan di dalam bus itu? Sudahlah nikmati perjalanan kita! Mubazir uang yang kita keluarkan jika kita tak menikmati perjalanan ini. Lihat Raisha! Betapa indahnya pemandangan ini. Raisha... lihat! Bagaimana dengan gayaku seperti ini,” teriak salah seorang kelompok belajarku sembari bergaya di hamparan kebun teh yang hijau itu dengan menggunakan topi dan keranjang di bahunya, mirip buruh pemetik teh.
Aku hanya tersenyum melihat kegirangan mereka. Mereka berhasil membuatku sedikit terlupa dengan kesedihanku. Polah mereka yang bergaya pemetik teh membuat salah seorang diantara mereka jatuh tersungkur. Aku terbahak melihat kejadian itu.
“Hai, Raisha... dari tadi aku perhatikan kamu hanya berdiam diri dan tak menikmati perjalanan ini. Matamu bengkak lagi,” sapaan lembut dari salah seorang teman cowok sekelasku. Aku langsung terpekur dan tertunduk malu karena mataku yang bengkak.
“Hah, gak apa-apa,” aku berlalu dari situ.
“Tunggu Rais, kamu mau foto barengku?” sedikit terkejut aku berbalik menatapnya.
“Jeeh...” teman-teman menggodaku.
“Apa-apaan sih?” jika menyinggung masalah hati dan perasaan, aku selalu jadi orang yang paling sensitif. Acara itu berlalu begitu saja. Sedikit aku menikmati perjalanan ini.
Diary...
Hari ini aku mendapatkan pesan singkat dari salah seorang sahabatku yang menyatakan dia tak merasa cocok denganku. Aku hanya bisa sabar dan tersenyum dengan sebuah pengakuan ini. Aku tak kan bersedih, menurutku itu lebih baik. Daripada dia terus membohongiku dan dirinya sendiri.
Diary...
Aku hanya bisa berdo’a kepada Yang Kuasa agar kelak mereka menemukan sahabat yang cocok untuk mereka. Kabulkanlah ya Rabb...!
Yang aku sesalkan, kenapa persahabatan ini berakhir hanya gara-gara brondong si Playboy amatiran. Cari selingkuhan, sahabat pacarnya sendiri. Dasar gak kreatif! Selingkuh aja diketahui semua orang. Cari sensasi lo? Kaya selebriti aja. Kalo mau jadi seleb nongkrong di TV no! Brondong-brondong... emang perusak lu ye...
Dan persahabatan ini belum tentu titik terangnya. Mungkin hanya waktu yang bisa menilainya. Ending cerita cinta ini...? terserah brondong itu kali ye.
“Seorang sahabat yang baik adalah seseorang yang mau menerima segala perlakuan sahabatnya.” Aku harus ikhlas dan siap kelak mereka harus membuang dan melupakan aku. Tapi aku tak akan pernah melupakan mereka. Mereka akan selalu ada dalam hatiku.
Jangan pernah berusaha mencari sahabat yang cocok bagimu! Tapi introspeksilah! Mampukah kamu menjadi sahabat yang baik bagi orang lain? Jika mampu, semua orang telah menjadi sahabat bagimu. (MARET 2007)

Read More......

Selasa, 13 Desember 2011

Cerpen


BELAJARLAH DARI ANAK-ANAK!!!
Oleh: RESI SUSANTI
“Si, kamu apa-apaan sih? Jalan gak hati-hati! Pake nyambet barang orang sagala lagi. Lihat ne, Hp ku jatuh dan berkeping-keping gini.”
“Ah, baru juga Hp butut. Gimana kalo yang lain? Mungkin secara tiba-tiba kamu akan berubah jadi allien dan bersiap-siap menerkamku. Auuummmmm... haha... haha...,” Chelsi terbahak.
“Si!! Ini bukan sebuah lelucon. Bukannya minta maaf, eh malah menghina Hp aku,” Janis mulai sewot.
“Alah berapa sih harganya? Barang murahan dipermasalahkan juga. Ntar aku ganti deh. Gak usah khawatir! Kaya gak tahu aja, aku ini siapa. Aku ini seorang anak pe-ja-bat kaya raya di kota ini,”balas Chelsi angkuh.
“Si, bagi kamu mungkin ini barang murahan. Tapi bagiku ini sangat berharga. Tahu kenapa? Karna aku mendapatkannya dengan hasil jeripayah ku sendiri. Aku gak netek lagi, menengadahkan tangan sama orang tuaku. Jadi orang, jangan hanya banggain orang tua, tapi banggain potensi yang kita miliki sendiri.”
Janis hanya bisa mengeluarkan getah matanya. Dia menyesal tidak dapat menjaga barang berharga yang ia dapatkan bersusah payah.
ى ى ى ى
“Si perkataanmu tadi tajam banget. Janis pasti sakit hati dan marah sama kamu,” teman-temannya menasehati.
“Alah biasa aja kali. Ntar juga baekan lagi. Hanya dengan bilang ‘Eh, Nis sory ye!’ ntar ngambeknya juga reda.”
“Si, Si... kamu terlalu menganggap segalanya itu mudah. Semoga saja kamu gak kemakan sama otakmu yang menyepelekan segala sesuatu. Ingat itu sebuah kesombongan!”
“Kok loe-loe pade ceramahin gue? Tenang aja friend.”
Dengan super easy Chelsipun minta maaf pada Janis. Namun tak ada respon dari Janis. Janis hanya mematung, cuek dan segera berlalu dari depan Chelsi.
“Hei Nis, kamu egois banget sih? Aku kan udah minta maaf. Kenapa kamu diam aja? Ngomong kek!”
“Ho, kamu mau minta maaf? Kalo gitu kamu beli aja pake duit orang tuamu. Mungkin di pasaran banyak orang yang jual maaf. Atau ke loak aja sekalian...!” Janis mendorong pundak Chelsi dengan jari-jarinya yang lentik gemulai.
“Heh, untung juga aku mau minta maaf dan mau menggantinya dengan yang lebih baru. Bukannya terimakasih, malah sok jual mahal,” Chelsi mulai kesal. Baru kali ini dia tak mampu taklukkan masalah.
Kesalahan Chelsi bertubi-tubi menusuk hati Janis. Bukan hanya soal Hp, tapi kesombongan dan keangkuhan serta ketajaman kata-kata Chelsi terhadapnya membuat hati Janis semakin membeku dan tidak akan luluh oleh maafnya.
“Tiada maaf bagimu!” nurani Janis menggelora. Permasalahan itu semakin hari semakin membengkak dan tiada berujung pada titik temunya. Janis semakin tersinggung oleh polah Chelsi yang selalu menyindir dan menjahilinya.
“Teman-teman tau gak? Ada orang nih, barang sudah butut, trus gak sengaja jatuh olehku. Trus aku mau ganti dengan yang baru, eh dianya nolak. Munafik banget gak sih?” wajah dan bibir Chelsi yang seksi mengarah pada Janis yang kebetulan lewat disampingnya menuju tempat duduknya.
“Aw... iii... siapa kamu?” Janis teriak.
Suasana kelas menjadi riuh disaat teman-teman sekelasnya tertawa melihat Janis terkejut. Ternyata Chelsi telah memberikan kejutan buat Janis. Janis mendapati lorong mejanya penuh dengan kecoa. Chelsi tahu bener apa yang ditakuti Janis karena dahulu mereka sahabat karib. Namun setelah kekayaan, jabatan serta status menghampiri papanya, Chelsi pun berubah.
“Gak lucu, tau!”
ى ى ى
“Beck, kurang ajar banget sih Lu. Harmonika kesayangan gue jadi rusak gini. Ini gara-gara lo. Lu tau? Ini belinya di Perancis. Hadiah ulang tahun gue yang ke 10 tahun. Sudah tujuh tahun gue jaga harmonika ini dan sekarang harus rusak di tangan lo. Lo apain sih?” Chelsi geram.
“So sory! Gue pikir dengan cara begini suaranya akan semakin enak di telinga. Tapi kok bagian-bagianya jadi lepas begini?” Ibeck berusaha memperjelas insiden yang menimpanya.
“Lo gak kan bisa ganti. Merk ini gak ada di Indonesia. Sekarang lu kluar dari rumah gue. Keluar! Kluar kata gue!” Chelsi mendorong Ibeck keluar rumahnya
“Tapi, Chel...”
“Kluar...!”
“Sudahlah Chel, Ibeck kan gak sengaja. Ini jadi pelajaran juga bagi Lu Chel.”
“Maksud Lu apa?”
“Dengan ini Lu bisa merasakan bagaimana perasaan kita ketika barang yang sangat berharga kita, dirusak oleh orang lain.”
“Teman berduka bukannya dihibur, malah diberi ceramah. Heh, mending kalian pulang deh! Pusing gue liat kalian jika kalian masih disini.”
“It’s Okay...”
Chelsi menangis terisak, pikirannya berkaca dengan insiden yang telah terjadi padanya beberapa waktu yang lalu bersama Janis. Sekarang apa yang dirasakan Janis mulai merasuk hatinya. Kesadaran mulai menghampirinya.
“Sobat, maafin aku yang menganggap remeh dirimu saat itu.”
***
“Sini balikin! Balikin mainanku! Balikin...!
“Nggak, aku mau pinjem. Aku pinjem...!”
“Yah...” serentak kedua anak itu menderu. Mainan yang mereka perebutkan tadi rusak. Anak kecil pemilik mainan tadi menangis.
“Ca, maaf...”
“Ganti dulu!”
“Iya, tunggu mama ku pulang dulu ya! Bagaimana jika kita main yang lain aja dulu!” anak yang merusak mainan tadi berusaha mengibur temannya.
Selang beberapa waktu kedua anak ini bermain bersama lagi. Tidak ada rasa dendam di hatinya, keriangan kembali mengisi hati mereka. Janis terkesima melihat prilaku anak-anak ini. Dia merasa sangat egois saja dalam menghadapi masalahnya dengan Chelsi. Keras kepala Janis mulai meliuk seperti kerupuk yang ditetesi air. Hati Janis luluh melihat kelembutan dan keputihan hati anak-anak ini. Janis menyesali keegoisannya.
“Jika setiap orang dewasa memiliki kelembutan hati seperti anak-anak, mungkin di dunia ini tidak ada yang namanya permusuhan, perselisihan, kesalahpahaman serta peperangan. Aku mau saja memaafkan Chelsi, tapi aku ingin saja menghukumnya dengan segala keangkuhannya. Aku harus mampu membuatnya sadar sampai dia kembali pada kebenaran. Tapi... ah sudahlah. Hanya Allah yang berhak menghukum hamba-Nya yang bersalah,” bisiknya.
***
“Dek, ntar kalo ada teman kakak yang datang, bilang saja kakak belum pulang ya! Lusa kakak beliin coklat. Okey!!”
“Okey deh. Itu mah gampir.”
“Thanks Dek! Kamu mang adik yang baik,” Janis mencubit hidung Riza yang mancung dan segera menaiki anak tangga menuju kamarnya.
“Baik sih baik, tapi hidungku memerah gini. Huh kakak slalu begitu, memangnya hidungku oek-oek apa,” umpat Riza.
“Kakak kenapa Dek?”
“Gak tau tu Bu. Tapi lusa aku dibelikan coklatttt, coklat-coklattt,” Riza bernyanyi menyuarakan makanan kesayangannya dengan riang.
“Coklat mulu Nak, ntar giginya karatan,” ibu menasehati adik.
“Gampang Bu. Tinggal digosok aja. Seperti yang sering diajarkan kakak. Jika suka makan coklat jangan lupa gosok gigi!”
“Assalamu’alaikum....”
“Wa’alaikumussalam. Eh Kak Chelsi. Nyari Kak Janis ya?”
“Tau saja Kamu Dek. Kakak bawa sesuatu buat kamu. En ing eng. Panggilin Kak Janis dunk!” Chelsi menyodorkan sebungkus coklat ke adiknya Janis.
“Maksud Kakak apa ini? Penyuapan ya? Tapi makasih deh.”
Dengan diam-diam Janis mengintip dari kamar.
“Eh ada Nak Chelsi. Sudah dari tadi ya? Dek, kenapa kak Janisnya belum dipanggilin? Panggilin gi!”
“Tapi Bu, kata kak Janis jika temannya datang, bilang saja kakak belum pulang. Makanya lusa aku dibelikan coklat.”
“Huh, Janis mengajarkan yang tidak baik pada adiknya. Dek, adek lupa pesan ibu? Kita tidak boleh bo...”
“Hong... maaf deh Bu. Tapi kata kak Janis kita tak boleh mengkhianati amanat orang lain. Itu sama saja kita munafik dan munafik itu tempatnya di kerak-kerak neraka kelak di akhirat. Ciri-ciri munafik itu ada tiga dan salah satunya jika dipercayai ia khianat. Adek gak mau Bu ditempatkan di kerak-kerak neraka. Bahan bakar neraka itu kan batu dan manusia. Iiiii ngeri.”
“Nah, itu kakakmu pintar mengajarkan kamu. Sekarang, panggilin kakak di kamar ya! Jangan membantah!”
“Ih Adik, kenapa pake bilang kaya gitu segala. Aku jadi gak ada muka bertemu Chelsi,” umpat Janis.
“Kak, di bawah ada teman kakak tuh dan kakak juga dipanggilin sama ibu.”
“Dasar anak badung! Kok kamu ngasih tau ibu, kakak ngasih kamu coklat karena boong?”
“Mana aku tau. IDL, Itu Derita Loh. Weeek...”
“Awas kamu!!! Kakak cubit,” Janis mengejar adiknya.
“Hai...” sapa Chelsi.
“Ngapain kesini? Hoh, aku lupa. Palingan juga mau minta maaf. Jadi duit bapakmu belum mampu beli maaf ya?”
“Nis, kok ngomongnya gitu sih? Aku kesini benar-benar mau minta maaf. Aku menyesal telah berbuat seperti itu padamu.”
“Eeeeeh... jadi kakak-kakak pada musuhan ya? Pantesan Kak Chelsi gak pernah lagi kesini. Katanya gak boleh musuhan, karena permusuhan akan menjadi benih di hati kita yang mengakibatkan timbulnya penyakit hati. Gimana sih orang dewasa? Bisanya cuma omdong. Omong kosong doang, tapi gak pernah dilakukan.”
“Heh, gak boleh nguping! Itu namanya gak sopan. Main sana! Awas lo kakak lempar,” Janis melemparkan bantal kecil di pangkuannya kepada adik.
“Gak kena... gak kena...” adik segera berlalu dari situ.
Suasana hening mengisi ruangan tempat mereka berdua berada.
“Aku mau saja maafin Chelsi, tapi apa dia akan berubah dan tak kan melakukannya pada orang lain,” Janis berkata-kata dalam hati.
“Nis,...”
“Apa? Mau maaf dari aku? Okey deh aku maafkan.”
“Serius Nih? Duh sohibku, makasih,” refleks Chelsi merangkul Janis.
“Apa-apaan sih?  Pake rangkulan segala,” Janis berusaha melepaskan rangkulannya dan mengeluarkan ekspresi marah. “Eh, tapi enak juga kayanya pake rangkulan.”
“Haha... haha...” Janis dan Chelsi terbahak.
Anak-anak mengajarkan kita untuk senantiasa memiliki hati yang bersih, tanpa dinodai penyakit hati seperti dendam, benci, dengki dan iri hati. Anak-anak juga mengajarkan kita bagaimana kita senantiasa jujur dan berperilaku lurus sesuai apa yang kita utarakan dan kita ajarkan pada anak-anak. Kita tidak hanya bisa mengajari mereka tapi juga mengamalkan apa yang kita sampaikan.
Dengan hati bersih, ketulusan dan kemauan mengucapkan atau memberi maaf pasti akan terlaksana. Badaipun pasti berlalu, persahabatan mereka kembali seperti dulu.
^^THANK YOU^^
MEI 2007
Dulu kita sahabat, teman begitu hangat mengalahkan sinar mentari...........
Dulu kita sahabat, berteman bagai ulat yang berubah menjadi kupu-kupu........
Persahabatan bagai kepompong..........
SAHABAT-SAHABATKU,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
            Semoga kita hari ini, besok dan selamanya selalu jadi sahabat, dunia wal akhirat.......................................!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
NB: Silahkan kritik dan saran-sarannya teman-teman!



Read More......