Jumat, 06 April 2012

SEPASANG MATA HATI

Tinggal beberapa bulan lagi aku bernaung di sekolah ini. Itu artinya akan ada hal yang baru yang harus aku lewati. Untuk mencapai semua itu perlu kerja keras dan motivasi yang kuat.
Hidupku yang selalu begini membuatku sesak dan pelak untuk menjalaninya. Pasalnya dari waktu ke waktu aku belum mampu lepas dari wanita tua itu. Seorang wanita yang membuat gerak hidupku terbelenggu. Selalu alasan itu-itu saja yang ku terima ketika aku menginginkan sesuatu.
“Maaf, Nak! Ibu tak mampu membelikannya untukmu. Dari mana Ibu akan mendapatkan uang sebanyak itu.”
Tak satupun kegiatan sekolah yang bisa aku ikuti, terkecuali pihak sekolah memberikan dana untukku mengikuti kegiatan itu karena prestasi yang slalu ku ukir mengangkat nama baik sekolah. Terkadang hatinya yang keras membujuk dan merayuku untuk tidak mengikuti segala kegiatan di luar kota. Hingga dari waktu ke waktu hatiku membeku mengikuti perintahnya.
“Siapalah dia, mampu melarang-larangku. Dulu, aku turuti kehendaknya karena aku hanya bocah kecil yang telah diatur hidungnya bak kerbau peliaraan. Sekarang aku sudah dewasa, sudah tau mana yang baik untukku. Tak satupun mampu melarangku untuk mengikuti setiap kegiatan yang ingin aku ikuti. Apalagi ini bukanlah uang dari jerih payahnya. Ini hadiah sekolah untukku.”
Harapan demi harapan ku ucap pada Yang Maha Kuasa agar secepatnya sukses menghampiriku, terkadang terucap juga olehku kapan wanita tua ini akan lenyap dari kehidupanku agar aku mendapatkan uang duka untuk masa depanku. Tapi Tuhan berkehendak lain, Dia menciptakannya untuk selalu berada disampingku. Alamak, hidupku seperti jauh dari ketenangan karena semua orang mengusik kehadirannya di dekatku. Seperti berjalan pada sebuah padang yang busuk, tak satupun orang yang menoleh padaku. Termasuk seorang wanita yang dielukan setiap pria.
“Ini Ibumu Wan? Haha... kok bisa ya pria setampan kamu mempunyai ibu cacat seperti ini? Mau menuju ke suatu arah saja harus menggunakan tongkat dan memanjar-manjar sesuatu yang di dekatnya. Kasihan sekali kamu Wan, pantaslah dari dulu kamu hidup seperti ini saja.”
Sontak wajahku merah padam mendengar cercaan yang menusuk ulu hatiku. Mataku nanar tak bergerak, tubuhku membeku diam terpaku. Dendam semakin menjarahiku, tertancap hebat pada memory otakku. Meski dia adalah ibu kandungku. Tanpa pikir panjang ku hardik Ibu sesampainya ku di rumah, terlalu lancang dia menghampiriku ke sekolah. Apa dia sengaja mempermalukanku di depan teman-temanku?
Hidupku semakin hampa, tak berarah, tak tentu tujuan, rasanya tak ada motivasi untuk maju, terkecuali hidup jauh dari wanita ini. Kelak jika aku mampu merauk kesuksesan, tentunya wanita ini tak kan lagi di sampingku. Kemandirian yang akan memberi jalan untukku.
Aku ikuti setiap jalan yang mengantarkanku untuk merenggut beasiswa ke luar negeri, tak sedikit uang yang sudah ku keluarkan untuk itu. Aku pun mulai terkesiap keheranan dengan kesanggupan ibu mengeluarkan uang banyak. Kenapa kali ini dia mengabulkan semua keinginanku? Dulu tak satupun keinginanku dipenuhinya, apalagi jika keinginanku bepergian ke luar kota. Tanda tanya ini menancap berbaris di ubun-ubunku. Namun tak pernah ku tanyakan langsung.
Hari ini hari yang sangat mendebarkan jantungku. Setiap helaan nafas yang ku ucap hanyalah doa agar aku lulus pada tes itu. Alhasil, aku akan jauh dari penjara hidup. Aku akan lepas dari sangkar busuk yang jadi kerangkeng kesuksesanku jika aku lulus melanjutkan studiku ke negara itu. “Hmm... selamat tinggal perempuan tua,” batinku membangga.
Ku susuri langkah kaki menuju gedung tempat pengumuman kelulusan terpampang. Langkah demi langkah membuatku tersenyum dengan keyakinanku. Pasalnya dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, aku yang pegang kendali menjadi juara umum. Matahari yang menyengat kulit, daun yang hanya diam tak tergoyang angin, peluh membuncah dari pori-pori hasil metabolisme biologis membasahi tubuh, menyurutkan langkah menciutkan nyaliku.
Pemandangan apa yang ku lihat, tak satupun peserta tes berada di pojok pengumuman bertengger. Hatiku mulai kabur dan nanar memandangi pojok papan. Setahuku pengumumannya ke luar hari ini. Sedikit demi sedikit langkah kakiku mulai ciut tak pasti. “Alah, mungkin mereka sudah tak yakin lulus. Makanya tak satupun berada di tempat ini. Terlebih lagi cuaca seekstrim ini, untuk apa membuang tenaga menunggu pengumuman yang tak pasti, jika toh pada akhirnya tak lulus,” kembali arogansi membelenggu hatiku.
“Maaf, Dik! Ada yang bisa saya bantu,” seseorang membuatku terkejut dan seketika langkah kakiku terhenti. Namun ku masih membisu seribu bahasa.
“Ooo pasti kamu salah satu peserta tes sekolah ke luar negeri ya? Tadi pagi memang banyak yang datang kesini menanyakan hasil tes itu. Namun pengumumannya dikirim melalui surat ke alamat masing-masing peserta, guna menghindari terjadinya kekacauan di gedung ini.”
Hatiku lelah mendengar pemberitahuan itu. Betapa bodohnya aku tak mengetahui info sepenting itu. Jika saja aku terlambat mengetahuinya, mungkin hidupku akan berhenti karena pelaknya aku pada wanita tua yang selalu bersamaku.
Tak sabar menunggu, kakiku melesat dengan kecepatan penuh. Ku tinggalkan pria yang tadi memberikan informasi padaku tanpa berpamitan sepatah katapun.
Pintu buruk tak tertutup, tak biasa pemandangan seperti ini. Ketika aku pulang ke rumah semua masakan Ibu telah terhidang pada meja makan yang lusuh dan lapuk. Namun penataan ibu membuatnya masih berdiri indah sampai seribu tahun lagi.
“Kemana Ibu? Sekarang sudah pukul tiga sore, aku lapar. Kenapa tak satupun makanan tertungkup di meja ini? Atau jangan-jangan dia sudah terkapar? Di dapur atau di kamar mandi? Hahaha....”
Ketika orang memandangku, mereka akan berkata anak macam apa aku ini, Hidup dari ketidak berdayaan Ibu. Tapi semua ku lakukan karena dia juga. Kenapa dia harus membuatku dipermalukan dalam hidup, harusnya dia yang dipersalahkan, dia yang melahirkan aku sehingga aku jadi seperti ini dan ini bukan kehendakku. Jika saja aku bisa memilih, aku tak pernah ingin lahir dari rahimnya.
“Ibu!!! Ibu!!! Mana makanan untukku?” tak satu sahutan pun ku dengar. Ku teruskan langkah ke dapur yang sangat kotor dan berantakan. Bagaimana tidak, mana mungkin seorang wanita buta mampu membersihkannya. Sedangkan dia saja tak melihat dan mengetahui tempat-tempat yang kotor. Tapi yang sangat membuatku terkesima, apapun untukku tak pernah dalam keadaan kotor. Apakah ini yang dikatakan kasih sayang. Tiba-tiba hati ini mulai lembek.
“Tidak, mana mungkin aku merasa kasihan padanya, yang tak pernah kasihan kepadaku.”
Hatiku semakin luluh melihat cairan bening menganak sungai dari matanya yang tak bersinar. Sudah delapan belas tahun umurku, tak pernah sekalipun ku lihat air mata jatuh melesat di pipinya yang kisut. Mungkinkah dia sakit?
“Sudah tahu sakit masih saja mencuci ke rumah tetangga-tetangga. Begini jadinya kan? Tak satu makanan pun terhidang di meja makan. Aku tuh lapar Bu.” Masih saja tak terdengar gelombang transversal yang merambat ke membran tympaniku.
“Tadi Pak pos kesini gak Bu?” masih saja perkataanku tak digubris, hanya suara sedu sedan yang ku dengar. Dengan sedikit emosi, ku menoleh ke arah ibu. Kulihat secarik kertas dalam genggamannya yang telah basah oleh air mata. Hatiku meringis, jantungku berdegup kencang, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Tapi mengapa dia menangis? Apa isi surat itu? Bagaimana mungkin dia mengetahui isi kertas yang digenggamnya?
Ku perhatikan dengan seksama kata demi kata pada kertas lusuh di tangannya, pasalnya tinta-tintanya telah luntur oleh air mata Ibu. Emosiku mereda saat ku lihat sebuah kata “Lulus” bertengger di bawah namaku.
“Alhamdulillah...”
Akhirnya keinginanku tercapai juga dan jauh darinya sudah di depan mata. Tak ada rasa kasihan sedikitpun yang membelenggu. Dengan bangga ku persiapkan segala keberangkatanku tanpa ingin mengetahui perasaan dan persetujuan dari wanita rapuh yang berada di hadapanku.
***
Selang waktu terus bergulir mengikuti detik-detik jarum yang searah rotasi bumi. Kebahagiaan terus menghampiri, terlebih lagi ada wanita cantik nan setia berada terus disampingku. Tak urung lagi niatku, segeraku persunting dia lepas tamat studi di Negeri Jiran Malaysia.
Setelah menikah, dia tak keberatan mengikuti kemanapun aku mau. Aku pun membeli rumah bersebelahan dengan kampung yang dulu membesarkanku. Entah mengapa ini aku lakukan, akupun tak tahu. Memutar waktu, aku sangat ingin kabur dari rantai belenggu wanita tua kisut yang menemani jalan hidupku. Namun apa yang aku lakukan hari ini?
Keberadaanku diketahui Ibu, rasa rindu yang mendalam mengayunkan langkahnya menuju rumah. “Assalamualaikum,” dengan sekejap isteriku membukakan pintu dan seketika anak-anakku berhamburan keluar.
“Ada orang gila... ada orang gila... aaaa mama aku takut,” anak-anakku menguntit dari belakang mamanya. Belum sempat berkata, wanita tua itu berujar “ Maaf, aku salah rumah.”
“Siapa Ma? Kenapa anak-anak ketakutan?”
“Itu Pa, ada pengemis buta mengetuk pintu rumah kita,” sejurus ku ingat mungkin dia Ibu. Segera ku langkahkan kaki ke pekarangan rumah.
“Beraninya kamu datang ke rumahku dan menakut-nakuti anak-anakku, pergi dari sini sekarang juga! Dasar pengemis tak tahu aturan,” teriakku memaki-makinya.
Hatiku terus dihantui rasa bersalah, bagaimana mungkin aku mampu berkata kasar pada Ibuku sendiri. Seminggu berlalu ku datangi gubuk derita yang membesarkanku.
“Ridwan kau kah itu? Setiap waktu ku menunggu kehadiranmu. Tak lelah hatiku berharap kau akan mengunjungiku suatu saat sebelum izrail menjemputku. Nak, benarkah kau disitu?” ku abaikan saja pertanyaan itu. Tak ada ubahnya gubuk derita ini, selalu saja kumuh dan bak kapal pecah diterjang ombak di samudera.
Sebulan berlalu tak sedetikpun ku memikirkan wanita renta di gubuk deritaku. Bagaimana dia sekarang, sudahkah Izrail membawanya pergi? Tiga hari berturut-turut dia hadir dan tersenyum dalam dunia bawah sadarku. Tanpa ku sadari hatiku merindu menggelung di sukma batinku.
Sepasang kaki mengayun tanpa sadar menyusuri gubuk tua nan lusuh sepi penghuni. Entah magnet apa yang menariku kesana? Halaman berpagarkan besi di ceplok cat berwana hijau, dinding pelupuh bergganti batu. megah memang, namun terlihat sederhana oleh hiasan lukisan kisah hidupku.
Sedikit terkejut dan berprasangka, ku duga Ibu menikah lagi. Tapi mana mungkin ada pria yang mau menikahi perempuan tua yang buta yang tak bisa mengerjakan apa-apa.
“Ridwan, akhirnya kamu mau mengunjungi rumah ini,” seorang wanita sebayaku menegur. “Kamu mencari Ibumu?” tanpa jawaban sepatah katapun, wanita ini terus saja mengoceh.
“Kenapa baru sekarang kamu mengunjungi tempat ini? Tapi, bagaimana menurutmu, rumah ini sudah sedikit baguskan? Rumah Ibumu ini dijadikan panti asuhan, sesuai amanatnya. Ibumu wanita yang sangat mulia, meski tak sempurna, dia selalu berusaha jadi wanita yang sempurna untuk orang lain, termasuk untukmu. Tapi sayang, belum sempat aku mengenalnya lebih jauh, beliau telah menghadap keharibaan-Nya,” sejenak ocehannya terhenti dan mengeluarkan air mata.
Bagaimana mungkin dia menangisi wanita tua yang tak berguna sedangkan mereka tak punya ikatan apa-apa. Atau mungkin ini anak hasil perselingkuhannya, pikiran buruk menancap lagi di benakku. Aku tak terharu ataupun menangis mendengar kepergian wanita tua itu. Malah bathinku teriris. Sudah tak berguna seperti itu, masih saja berbuat hal yang memalukan. Pantaslah dia mendapatkan hukuman Tuhan tak dapat melihat dunia yang indah ini.
“Oh, ya Ridwan Ibumu hanya meninggalkan ini untukmu.”
Anakku tersayang.....
Aku memikirkanmu setiap saat. Apakah kau baik-baik saja? Adakah kau bahagia dengan kesuksesan yang kau raih? Ibu terus berharap kebahagiaanmu adalah pelukan Ibu. Namun sepertinya Ibu bermimpi akan bisa memelukmu lagi.
Maafkan Ibu datang ke rumahmu mengunjungi keluargamu! Ibu sangat merindukanmu, Ibu ingin melihat anak yang Ibu cintai bahagia dan mampu mencapai apa yang diimpikannya karena Ibu tak pernah mampu membahagiakanmu. Aku ingin melihat menantu dan cucu-cucuku. Hah, Aku lega dan bahagia dapat menatapnya walau pada akhirnya kau mengusirku.
Maafkan aku yang selalu membebanimu, menghambat prestasimu, menghalangi segala kegiatanmu ke luar kota. Padahal ku tahu itu suatu hal yang sangat diidam-idamkan setiap siswa sepertimu. Bukannya aku membencimu, tapi ini hanya sebatas pejagaanku padamu. Aku tak ingin kehilanganmu seperti halnya aku kehilangan ayahmu.
Sewaktu kamu masih kecil, aku, ayahmu juga dirimu menumpangi kereta na’as itu. Ayahmu tiada, terhimpit gerbong kereta. Sedangkan kamu, kehilangan kedua matamu. Jika aku boleh memilih, kenapa bukan aku saja yang mengalami kebutaan itu. Ingin rasanya ku habisi waktuku. Tapi melihat kepolosan dan kelucuan dirimu membuatku bangkit dari keterpurukanku.
Sebagai seorang Ibu, aku tak tega melihatmu tak mampu menatap dunia. Aku tak bisa melihatmu tersandung, bahkan oleh kerikil sekalipun karna gangguan matamu kala itu. Jadi ku hadiahkan mataku untukmu. Biarlah ku tatap hidupku, hidupmu dengan mata hatiku. Aku yakin aku masih bisa menjaga dan merawatmu meski tanpa mata sekalipun.
Di kala kau terlelap, tak ku biarkan nyamuk-nyamuk nakal itu menghampirimu. Ketika pagi menjelang, tak ku biarkan kau merasa kelaparan meski aku mengantuk karena tak tidur semalaman menjagamu. Begitu seterusnya pengabdianku untuk kebahagiaanmu dan untuk ayahmu yang ku cintai karna janjiku satu untuk mencintainya seumur hidupku.
Kau tahu anakku, aku sangat bangga padamu. Kau telah mengenalkanku dengan dunia baru untukku, indahnya jadi seorang Ibu. Aku akan selalu hidup untukmu, tempatku di matamu bersama cintaku. Jagalah selalu mata itu.
Salam cintaku,

Ibumu
Sungguh penyesalan yang teramat dalam mendapati Ibu yang sangat mencintaiku telah meninggalkanku untuk selamanya. Namun ku belum sempat berbuat baik padanya ataupun memberikan yang diinginkannya. Bahkan matanya yang selalu digunakannya untuk merawatku, ku biarkan melihatnya rapuh, jatuh dan terpuruk tak berdaya. Apa guna mata ini jika tak mampu ku gunakan untuk menbahagiakan orang yang memiliki mata ini.
Dunia seakan berputar, awan mulai menghitam legam, langitpun serasa menghimpit, mataku mulai kabur dan seketika tubuhku terhuyung tersungkur di hadapan pusara Ibu yang masih merah dan basah.
“Ibu, ampuni aku yang durhaka ini! Tak pantas aku hidup dari belas kasihanmu. Ampuni aku Bu!”

Read More......